• Mari gunakan aplikasi MASLAM untuk mobile android. Unduh di playstore
Kamis, 21 November 2024

Masjid sebagai Pusat Pendidikan

Masjid sebagai Pusat Pendidikan
Bagikan

Contoh yang diberikan oleh Rasululiah Muhammad SAW, ketika melakukan aktivitas pengajaran dan pendidikan, aktivitas spiritual peribadatan, sosial kemasyarakatan dan pengembangan perekonomian dan bisnis dari masjid.

Dalam literatur tentang pendirian Pondok Pesantren disebutkan bahwa sebuah Pesantren berdiri diawali dengan berdirinya masjid. Bisa dikatakan bahwa masjid merupakan inti dan pusat eksistensi sebuah Pesantren. Dalam prosesnya, seorang pendiri dan pengasuh pertama sebuah Pesantren memulai seluruh aktivitas pendidikannya di masjid tersebut. Dengan demikian, masjid menjadi pusat aktivitas spiritual, pendidikan, dan sekaligus sosial kemasyarakatan. Bahkan tidak ketinggalan, aktivitas bisnis juga ditangani dari masjid. Meski secara fiqh, transaksi bisnisnya harus dilakukan di luar masjid, misalnya di halaman masjid atau area lain di luarnya.

Aktivitas yang dilakukan pendiri dan pengasuh pertama sebuah Pesantren tersebut tentu ada rujukannya. Referensinya ialah contoh yang diberikan oleh Rasulullah Muhammad SAW, ketika melakukan aktivitas pengajaran dan pendidikan, aktivitas spiritual peribadatan, sosial kemasyarakatan dan pengembangan perekonomian dan bisnis dari masjid. Pada era Rasulullah SAW, masjid berfungsi sebagai pusat pemberdayaan umat Islam dalam bidang-bidang yang disebutkan di atas.

Tulisan ini membahas tafsir al-Qur’an tentang fungsi masjid sebagai pusat pendidikan, yakni sebagai pusat pembentukan kader-kader unggul yang dibutuhkan oleh umat Islam. Di samping itu, dikaji pula perkembangan masjid di era sekarang yang mungkin mengalami transformasi fungsi dan peran. Seperti yang disinyalir oleh Kuntowijoyo (rh.) dalam tesisnya tentang Muslim tanpa Masjid.

Apa Itu Masjid?
Lafal masjid merupakan isim zaraf makan (kata benda yang menunjukkan tempat) dari asal kata sajada. Sajada sendiri bermakna tunduk cenderung kepada kebaikan, lembut perkataan, dan konsisten (khudhu); serta rendah hati dan merasa rendah di hadapan Allah (tathamun). Dalam al-Qur’an kata sajada memiliki makna dan konteks makna beragam, serta bentuk kata yang beraneka. Sujud bermakna ta’zim dan hormat kepada orang yang lebih berilmu sebagaimana malaikat bersujud di hadapan Nabi Adam AS. Konteks maknanya adalah aktivitas pendidikan (QS Al-Baqarah: 34). Tanda memasuki sebuah tempat ibadah (Bait al-Maqdis) dengan penuh ketundukan dan penyesalan karena dosa yang telah dilakukan. Sujud dengan bunyi sujjadan (isim fail jamak dari kata sajid) berkonteks makna aktivitas spiritual di tempat ibadah (QS al-Baqarah: 58, QS Ali Imran: 43 dan 113). Sajada juga dapat dipahami dalam makna shalat dan ibadah ritual, yang dikaitkan dengan konteks makna strategi perang (QS al-Nisa: 102). Sajada yang dikaitkan dengan ibadah dan ruku’, bermakna shalat. Shalat yang didirikan harus berdampak kepada keberpihakan dan kesetiaan pada kebaikan untuk mencapai kesuksesan lahir batin, individu dan kelompok, dunia akhirat (QS al-Hajj: 77). Sajada dalam bentuk masjid adalah tempat beribadah. Dalam konteks ini, makna sajada adalah arah visioner dalam aktivitas spiritual, ideologis, budaya, politik, dan sikap-sikap sosial lainnya (QS al-Baqarah: 144, 149, dan 150).

Sajada dalam bentuk masjid sebagai tempat suci, tempat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Konteks maknanya adalah bahwa tempat suci ini tidak boleh dipergunakan sebagai medan bertempur, tempat yang dipakai untuk saling menyakiti, meskipun orang lain telah menyakiti kita. Dalam keadaan terpaksa jika kita diperangi, kita baru boleh membalas serangan dan tantangan perang mereka meskipun hal itu dilakukan di dalam tempat suci itu (al-masjid al-haram) sekalipun. Namun demikian, dalam membalas serangan mereka, kita tidak boleh dengan cara yang berlebihan, apalagi diniatkan untuk balas dendam (QS al-Baqarah: 191 dan 217).

Lebih khusus sajada dalam bentuk masjid, misalnya adalah yang terkait dengan aktivitas memakmurkan masjid (QS al-Tawbah: 18). Yang dimakmurkan adalah masjid Allah (ditulis dalam bentuk jamak masajid). Yang bisa memakmurkan adalah hanya mereka yang beriman kepada Allah SWT, dan Hari Akhir, mendirikan shalat, membayar zakat, dan tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Dengan amal kebajikan mereka di atas, mereka termasuk golongan orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Yaitu, orang-orang yang mendapatkan petunjuk untuk memakmurkan masjid. Sementara itu, orang-orang musyrik yang telah memilih kekafiran, dengan tegas disebut tidak pantas untuk memakmurkan masjid (QS al-Tawbah: 17), karena mereka najis (QS al-Tawbah: 28). Kotor yang dimaksud di sini adalah kotor jiwanya, karena tidak bertauhid, pikiran dan tindakannya kotor karena seringkali menghalangi Rasulullah SAW, dan kaum beriman untuk beribadah di Masjidil Haram atau aktivitas kebaikan lainnya dalam mengajak umat manusia kepada jalan fitrahnya.

Al-Qushayri dalam Lataif al-Isharat menafsirkan QS al-Tawbah: 18, khususnya ‘ya’muru masajidallah’ sebagai meramaikan masjid dengan melaksanakan berbagai macam ibadah di dalamnya. Kunci pelaksanaan ibadah dalam memakmurkan masjid itu harus dilakukan dengan ikhlas. Kemusyrikan adalah perusak keikhlasan. Oleh karena itulah, dalam QS al-Tawbah: 18 dengan tegas Allah berfirman hanya orang-orang yang beriman (dan tentu saja ikhlas) yang dapat dengan sempurna bahkan konsisten memakmurkan masjid.

Ibadah sendiri dalam bentuk sujud, sebagaimana disebutkan makna dan konteks maknanya di atas, memuat tidak sekedar dalam makna ibadah ritual-formal, namun juga maknanya dalam pengertian yang luas, seperti pendidikan dan pengajaran, aktivitas sosial-ekonomi-politik, dan bahkan strategi perang. Intinya, ibadah dalam semua pengertiannya tersebut di atas dapat menjadi bermakna dan berarti bagi kehidupan kita dunia akherat, ketika dibangun dan dilaksanakan dengan landasan ikhlas hanya karena Allah semata. Dengan kata lain, masjid merupakan pusat aktivitas ibadah ritual, sosial, ekonomi, dan bahkan politik serta kebijakan peperangan. Masjid juga sebagai pusat aktivitas pendidikan, yang merupakan media penyampaian nilai-nilai Islam dalam bentuk wacana pemikiran ataupun keteladanan.

Sebagai pusat pendidikan, masjid menjadi sangat urgent mengingat proses utama transfer ilmu dan keteladanan yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya merupakan energi hebat umat Islam dalam menyebarkan nilai-nilai Islam kepada khalayak luas. Yakni mencetak kader-kader pengajar dan pembelajar yang rabbani (QS Ali Imran: 79).

Macam-macam Masjid
Di dalam al-Qur’an Surah al-Tawbah: 107-110 disebutkan ada dua macam masjid, yaitu masjid dirar, kufran wa tafriqan dan masjid takwa. Bagaimana bentuk masjid tersebut, dan yang manakah masjid yang layak untuk dijadikan sebagai pusat pendidikan, dalam rangka mencetak kader-kader unggul penyebaran nilai-nilai Islam dalam bingkai ilmu pengetahuan dan keteladanan?

Masjid yang diperuntukan sebagai pusat pendidikan bagi pengembangan kapasitas keilmuan, penguatan praktik mental spiritual dan ketaatan kepada Allah, serta perkaderan kader-kader islam yang dapat menebar kebajikan dan rahmat bagi alam sernesta

Muhammad Mutawalli al-Sha’rawi dalam menafsirkan ayat-ayat di atas memaknai lafal masjid dalam maknanya yang umum sebagai tempat bersujud dan tempat untuk mendirikan shalat. Dalam pengertian ini, seluruh tempat di muka bumi ini dapat menjadi masjid. Lalu mengapa ada masjid dirar dan masjid takwa? Dalam sejarahnya, masjid pertama yang didirikan oleh kaum Muslimin yaitu masjid Quba’, bangunan masjid yang dibangun oleh Bani Amr bin Auf. Untuk menyaingi Masjid Quba’ tersebut, Bani Ghunm bin Auf juga mendirikan masjid serupa. Kaum munafik ini berniat untuk menyaingi dan memecah-belah di antara pengikut Rasulillah SAW. Masjid ini dinamai masjid dirar, dalam penafsiran al-Sha’rawi, karena diniatkan untuk sum’ah, riya’, dan memecah-belah. Jadi, setiap masjid yang dimaksudkan dibangun dengan landasan niat seperti ini dapat dimengerti sebagai masjid dirar. Perbuatan ini merupakan perilaku kaum kafir dan munafik yang selalu menginginkan terjadinya keresahan di kalangan umat Islam. Perilaku yang menginginkan mental spiritual umat Islam rontok dan rapuh oleh perpecahan yang tidak perlu.

Sebaliknya, masjid takwa adalah masjid yang dibangun karena kecintaan kepada ibadah dan kebersihan hati untuk semakin dekat kepada Allah dan ketaatan kepada-Nya. Menurut al-Sha’rawi, dalam konteks masjid takwa dan masjid dirar ini, yang terpenting dan yang menjadi masalah bukanlah bangunan masjid dan bentuk bangunannya. Melainkan, pada siapa yang mengelolanya, yang menjadi takmirnya, dan yang menjadi aktivis masjid tersebut. Masjid takwa dibangun oleh mereka yang beriman kepada Allah, kepada Hari Akhir, dan melakukan kebajikan dengan upaya maksimal. Masjid takwa adalah masjid yang diniatkan oleh para pemakmurnya sebagai basis aktivitas pengembangan mental spiritual, berhimpunnya kebajikan, ajang silaturrahim menumbuhkan saling kasih-sayang dan bersatu atas dasar kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta dalam kasih sayang kepada sesama mahkluk Allah dan alam semesta. Singkatnya, masjid yang diperuntukkan sebagai pusat pendidikan bagi pengembangan kapasitas keilmuan, penguatan praktik mental spiritual dan ketaatan kepada Allah, serta perkaderan kader-kader Islam yang dapat menebar kebajikan dan rahmat bagi alam semesta.

Masjid sebagai Centre of Excellence

Syandan, menurut riwayat yang shahih, QS At-Tawbah: 122 diwahyukan terkait dengan pendidikan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW di Masjid Nabawi. Berdasarkan sebab turunnya, al-Qurtubi menjelaskan bahwa hukum berjuang di medan perang dan mendalami agama sama-sama fardhu kifayah. Dalam ayat ini diuraikan bahwa harus ada sekelompok orang yang terjun berjuang ke medan laga dalam mempertahankan eksistensi agama Islam. Tak kalah krusialnya harus ada sebagian kelompok lainnya yang tetap mendampingi Rasulillah Muhammad SAW, di Majelis Ilmunya. Sehingga, tatkala perang telah usai, para sahabat yang konsen belajar dan mendalami agama bersama Rasulullah SAW harus mengajarkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat yang ikut berperang dan belum mendapatkan pengetahuan tentang ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.

Tafaqquh fi al-Din adalah perlambang nilai-nilai ajaran Islam. Islam dalam lintasan sejarah perad-aban umat manusia hadir secara kuat sebagai agama dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan bagi al Qur’an yang perlu diajarkan kepada umat manusia bukan sekedar pengetahuan yang berfungsi untuk pengetahuan belaka. Melainkan untuk pengembangan kejernihan berpikir, yang tunduk kepada Allah SWT serta diikuti secara bersamaan dengan kebajikan akhlak yang luhur.

Maka, ketika Islam hadir di negeri gurun pasir Hijaz, bukan berarti penduduknya orang-orang bodoh dari pengetahuan. Mereka justru para penyair hebat. Para pengusaha sukses. Para politisi ulung. Para ilmuwan dengan segudang pengetahuan. Tetapi, pengetahuan mereka hanya untuk pengetahuan dan gagah-gagahan, tanpa disertai dengan kehebatan akhlak yang nyata. Pengetahuan mereka disertai justru oleh perilaku buruk terhadap kemanusiaan. Perilaku buruk terhadap perekonomian. Perilaku buruk terhadap mereka sendiri yang syirik dan menggantungkan hidupnya kepada berhala. Merekalah jahiliyah karena justru pengetahuan mereka tidak berdampak kebajikan apapun, melainkan keburukan dan perilaku aniaya. Mereka disindir al-Qur’an sebagai orang-orang yang memiliki hati, tetapi tak dapat mengerti; yang mempunyai indera penglihatan dan pendengaran, tetapi ti-dak digunakan. Mereka bagaikan binatang, bahkan lebih sesat dan buruk darinya (QS al-Araf: 179).

Ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an merupakan tonggak peradaban kebajikan yang maslahat untuk seluruh umat manusia. Seorang Mukmin yang berpengetahuan merupakan seseorang yang berdedikasi tinggi terhadap kebajikan (al-khayr dan a/-ma’ruf). Dia akan selalu berpikir untuk menebarkan kebaikan serta bermanfaat untuk sesama. Berpikirnya jernih, tanpa dusta. Tanpa kamuflase data. Komitmennya terhadap kebaikan penuh dengan integritas. Inilah buah dari pendidikan yang berpusat di masjid takwa. Lahirnya generasi yang unggul dengan pengetahuan dan peradaban berbasis akhlak yang mulia.

Dalam sejarah, masjid takwa telah melahirkan Ali bin Abi Thalib, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Abu Hurayrah, Said al-Khudri, Sofyan al-Tsauri, Abdullah Ibn al-Mubarik, Imam Ja’far al-Shadiq, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, Muhyi al-Din Ibn Arabi, dan lain-lain. Dalam konteks In-donesia, masjid takwa telah melahirkan Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Hasan Besari, dan lain-lain. Masjid takwa telah melahirkan kader-kader unggul yang mewarisi keilmuan para Nabi dalam menyebarkan nilai-nilai tauhid dan akhlak terpuji. Kader unggul tersebut lalu menjadi suluh agama, bangsa, dan negara Indonesia tercinta.

Kini masjid dibangun tidak hanya mengiringi pendirian Pesantren. Ada yang dibangun atas swa-daya masyarakat di sebuah perkampungan atau perkotaan. Ada juga yang dibangun di terminal, di perkantoran. Kuntowijoyo menyatakan pendapatnya terkait fenomena masjid belakangan dengan tesis Muslim tanpa masjid. Muslim ini tidak berafiliasi ke masjid manapun. Tetapi, dia di sepanjang perjalanan beribadah di dalam masjid yang dibangun tidak terkait dengan afiliasinya itu. Tantangan hari ini menjadikan masjid sebagai Pusat Pendidikan yaitu mengembalikan ruh masjid sebagai kesadaran kolektif umat Islam sebagaimana makna dan konteks maknanya yang disebutkan dalam al-Qur’an di atas. Seraya menjadikan masjid sebagai wadah persatuan dan keilmuan umat Islam. Dari masjid diharapkan lahir karya-karya kadernya yang dapat mencerahkan alam semesta. Sebagaimana masjid sebagai pusat peradaban Islam yang rahmatan amin. Wallahu a’lam.

Oleh Dr Piet Hizbullah Khaidir, S.Ag, MA., Ketua Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an dan Sains al-Ishlah (STIQSI) Lamongan

Sumber: Majalah Gontor, Sya’ban-Ramadhan 1444H/ Maret 2023 Edisi 11 Tahun XX

SebelumnyaMasjid Harus Ramah AnakSesudahnyaMasjid dan Peradaban Islam
Tidak ada komentar

Tulis komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Luas Tanah412 m2
Luas Bangunan380 m2
Status LokasiFasilitas umum yang dikuasai Pemkot Depok (girik)
Tahun Berdiri2007